Sabtu, 24 September 2011

copas status mbak Henny Zainal.. Dear Papas Mamas, menyusui bukan sekedar bicara sempurna atau tidaknya peran seorang ibu. Menyusui bukan bicara nyaman atau tidaknya hidup seorang ibu. Menyusui bukan bicara mengenai sudah atau tidaknya ayah ibu berjuang. Menyusui bukan sekedar memberikan makanan pada anak atau memenuhi isi perut anak untuk kenyang atau haus. TETAPI, Menyusui adalah bicara akan perjuangan ibu yang tanpa henti dan pantang menyerah.. Didera rasa lelah, kurang tidur, menghadapi komentar miring kanan kiri, rasa sakit, jenuh yang luar biasa.. ... ... Menyusui adalah membangun pondasi dasar kehidupan anak, penyempurnaan akan setiap fungsi organ anak, rintisan awal pembentukan pribadi dan akidah seorang manusia. Menyusui adalah bicara akan kelemahan kita sebagai ibu dan membiarkan bayi mengajarkan kita bagaimana meraih surga Ilahi.. Menyusui adalah memenuhi perintah TuhanMu sebagai malaikat dunia yang Ia titipkan anak dan Ia persiapkan makanannya.. Menyusui adalah menjadikan dirimu berdiri tegak dan bangga di hadapan Tuhanmu sambil berkata, "Wahai Tuhanku, telah kupenuhi kewajibanku memberikan tetesan darahku. Sebagaimana Engkau perintahkan padaku. Saat Engkau berikan anak ini sebagai amanahku. Berikanlah surgaMu untukku" Tangisanmu.. Sedihmu.. Sakitmu.. Lelahmu.. Hadapilah dengan senyummu.. Biarkanlah mereka sibuk berkomentar, namun satu hal yang pasti adalah ibu sadar bahwa Menyusui merupakan perjuangan tiada henti, sampai tetes darah terakhir yang menetes dari dirimu. Salam Cinta ASI..!! Semangat Berjuang sampai tetes darah terakhir kita..!!

Rabu, 03 Agustus 2011

Proses Kelahiran (II)

Melanjutkan cerita yang kemarin..malam ini bunda akan melanjutkan cerita tentang proses melahirkan.

ARIFAH ALTHAFUNNISA, 3 Agustus 2009..met milad ya, nduk..

Seperti kehamilan saya sebelumnya, maka  kehamilan yang ini pun saya sudah mengambil cuti 1 bulan sebelum HPL yang diperkirakan tanggal 27 Juli 2009..Sungguh, di kehamilan yang ini saya merasa sangat santai sekali dalam menghadapi proses persalinan. Apalagi banyak yang bilang persalinan kedua biasanya lebih gampang, mengingat juga jarak dengan kelahiran sebelumnya yang hanya 13 bulan. Jadi, benar2 tanpa beban, beda dengan proses menunggu persalinan pertama yang penuh harap2 cemas..Ditambah lagi hasil USG terakhir yang menggambarkan semua baik2 saja..

Sampai HPL tiba, saya belum merasakan kontraksi apa2..pun tanda melahirkan yang tak juga muncul. Akhirnya kami pergi ke klinik bidan untuk konsultasi..Sampai di sana, diputuskan saya masih diberi toleransi satu pekan ke depan. Jika sampai pekan depan tak juga datang kontraksi, maka kemungkinan akan diinduksi. Mendengar kata induksi, langsung deh agak2 ngeri, apalagi banyak yang bilang kalo diinduksi itu sakitnya 2x dari kontraksi normal (lha, kontraksi normal aja nikmat bener rasanya..gimana induksi ya, pikir saya waktu itu). Maka sepekan berikutnya, si dedek jadi tambah sering saya ajak ngobrol biar cepet keluar, gak perlu pake induksi segala (emaknya ngeri je...)

Dan tepat di hari ketujuh toleransi, akhirnya mules yang ditunggu dateng juga..Pagi itu, saya pun meminta suami untuk tidak masuk kerja karena feeling saya si dedek akan lahir sebentar lagi. Setelah dirasa jeda kontraksi makin pendek, saya dan suami kemudian memutuskan berangkat ke klinik pada pukul 10.30. Sampai sana, dicek sudah bukaan 4. Proses penambahan bukaan lebih cepat dari persalinan pertama, tapi entah kenapa rasanya lebih sakit. Jam 2 siang bukaan sudah lengkap dan kemudian saya diminta untuk mengejan. Entah kenapa sudah beberapa kali mengejan, si dedek tak kunjung keluar. Dan itu membuat saya jadi tambah ekspresif mengekspresikan rasa sakit. Hehe.. Alhamdulillah bidan2 yang membantu persalinan saya pada lucu2 pisan, jadi di tengah rasa sakit itu saya masih bisa senyum2 (pada tebak2an berapa berat lahir si dedek, kalo bener minta dibeliin bakso..hihi). Karena tak kunjung keluar juga si dedek dan mendapati saya yang tambah ekspresif karena kesakitan ini, bu bidan senior pemilik klinik akhirnya turun tangan dan berujar “ibu, kok kayak baru pertama kali melahirkan aja, yang pertama dulu kayaknya ibu malah lebih kalem deh lahirannya padahal mulesnya jauh lebih lama..” (lha wong yang ini lebih sakit deh perasaanku..). Akhirnya bu bidan pun mengambil tindakan episiotomi dan Alhamdulillah si dedek akhirnya keluar juga tepat pukul 15.20..fiuh.. Ternyata si dedek susah keluar karena BBnya termasuk besar untuk ukuran tubuh saya yang imut ini. Ya, berat lahir si dedek 3,3 kg. Selain itu rupanya ada lilitan tali pusar juga jadi sedikit menghambat si dedek untuk keluar. Setelah 3 hari di klinik, kami pun pulang dan disambut dengan pesan dari mbak2 administrasinya “sampai ketemu lagi ya tahun depan..” Hiyaaa.. saya dan suami pun mesem2 aja..qqqq..

---bersambung---

Senin, 01 Agustus 2011

Proses Kelahiran (I)

Masih feeling guilty gara2 tadi pagi kesiangan bangun sahur, jadi gak sempet masak (padahal bahan2nya dah disiapin dari semalem) dan akhirnya si ayah sahur seadanya..hehe..maaf ya ay..hmmm..biar gak terus kepikiran dan mumpung bocah2 lg pada tidur siang, bunda mau nulis aja ya..mau coba mendokumentasikan proses kelahiran anak2 aja deh..

Rafi Muhammad Hilmi, 27 Juni 2008..

Namanya juga anak pertama, masih serba bingung semua2nya..belum tau kayak gimana sih yang namanya mules mau melahirkan, tanda2nya apa dsb..HPL  waktu itu tanggal 28 Juni 2008, jadi sepekan sebelumnya sudah mulai h2c, siap2..apalagi memang udah sering banget kontraksi palsu..H-5 dari HPL, tiba2 timbul flek..Alhamdulillah masih ngontrak deket rumah ortu, langsung bilanglah ke mama ttg flek itu dan akhirnya qt berdua langsung ke bidan sambil nelpon si ayah utk siap2 pulang kalo emang bener mau melahirkan hari itu..eh ternyata, setelah dicek..itu cuma flek biasa, belum ada bukaan sama sekali dan saya disuruh banyak2 melakukan aktivitas yang bisa memperlancar proses kelahiran..akhirnya pulang lagi deh ke rumah..

26 Juni 2008, mulai mules2 tak biasa dari jam 9 malam..tidur tak nyenyak karena bentar2 terbangun karena kontraksi..tapi masih belum bilang apa2 ke suami..akhirnya semalaman itu tak tidur dan kemudian mulai menghitung jeda kontraksi..sampai subuh tiba, udah mulai lebih “berasa” sakitnya dan akhirnya mengajak suami ke bidan saat itu juga..suami kemudian pamit shalat jama’ah shubuh dulu di musholla deket rumah dan saya meringis2 menahan sakit di rumah sendirian..

Selepas sholat, berangkatlah saya dengan dibonceng motor oleh suami ke klinik bidan tempat kami periksa tiap bulannya..sampai sana, saya kemudian diperiksa dan ternyata sudah bukaan 4..jadi langsung masuk kamar inap..si mas kemudian menelepon ortu di rumah utk membawakan barang2 perlengkapan bersalin yang belum sempet kami bawa tadi pagi saking paniknya..saya pun disuruh bidan utk jalan2 agar mempercepat proses bukaan..mbak bidan meramalkan kayaknya jam 9 pagi insyaAllah udah lahir dedeknya..saya pun senang karena itu berarti mules2nya jd gak lama2..tapi ternyata karena mungkin ini proses kelahiran anak pertama, penambahan bukaan berjalan lambat..dengan ditemani suami dan mama, saya berjuang melawan rasa sakit yang entah kapan akan berakhir..azan zhuhur pun tiba, dan berhubung itu hari jumat, maka suami pun pamit utk shalat jumat..huhu..sedih gak bisa didampingi si mas..kepikiran gmn kalo ini lahir pas mas masih sholat jumat..tapi ya sudahlah..akhirnya mas berangkat sholat jumat dan tepat sesaat setelah mas berangkat ke masjid, ketuban pun pecah dan saya pun kemudian langsung masuk kamar bersalin..apa kemudian langsung lahir?hihi..ternyata tidak..karena baru bukaan 8 dan saya masih dilarang mengejan..huhu..

Selepas mas selesai sholat jumat, mas pun langsung masuk kamar bersalin utk menemani saya, menguatkan saya utk mengalihkan rasa sakit dgn membaca zikir (dan tentunya jd pelampiasan cubitan saya juga,,hehe..). Setelah bukaan lengkap, dimintalah saya oleh para bidan utk mulai mengejan (dan saya lupa semua teori yang sudah dipelajari sebelumnya..hehe). Alhamdulillah, setelah perjuangan yang cukup mendebarkan, akhirnya si dedek pun lahir pada pukul 16.10, laki2 dengan berat 2,8kg..Alhamdulillah, semua rasa sakit terbayar sudah dengan kehadirannya di samping kami.. ^^

---bersambung--

Kamis, 21 April 2011

Ta'aruf

“Mas, ingat tidak hari ini ada apa?” suara belahan jiwaku mengawali perbincangan kami malam ini. “Hari kartini”, jawabku sekenanya. Kulihat wajahnya cemberut kemudian berubah ceria dan senyumnya mengembang mengawali obrolan seru kami. “Hari ini setahun yang lalu kita ta’aruf, sayang…. Masak Mas nggak inget?” . “O, iya hari ini ya? Setahun yang lalu?” akupun mendekatinya dan kami larut dalam nostalgia seputar pertemuan pertama kami dulu.

Ta’aruf atau perkenalan menjadi populer ahir-ahir ini setelah meledaknya film layar lebar Ayat-Ayat Cinta. Di film ini penonton yang konon mencapai lebih dari tiga juta orang disuguhi adegan ta’aruf Fahri dengan Aisha sebagai langkah awal dalam mencapai pernikahan mereka. Istilah ta’aruf kian akrab ketika baru-baru ini ketua MPR RI Hidayat Nurwahid melakukannya dengan dr Diana, calon istri yang dikenalkan padanya oleh anggota DPR RI Yoyoh Yusro. Pencarian jodoh ala Islam begitulah detik.com menulis dalam salah satu beritanya. Ta’aruf dimaksudkan untuk saling mengenal secara mendalam kedua belah pihak yang berniat untuk melangsungkan pernikahan, jika setelah ta’aruf masing-masing merasa cocok maka proses menuju pernikahan dapat dilanjutkan dengan khitbah atau lamaran tapi jika salah satu atau keduanya merasa ada ketidak cocokan maka proses dihentikan. Begitupun dengan kami setahun yang lalu, setelah ta’aruf kami merasa cocok maka proses kami lanjutkan hingga ahirnya mengantarkan kami ke pelaminan. Berbeda dengan istri yang begitu ta’aruf pertama kali langsung menuai sukses menggaet calon suami, aku sempat mengalami kegagalan dalam ta’arufku sebelumnya.

Banyak hal seru ketika kami ta’aruf dulu. Pada hari yang telah ditentukan, 21 April 2007 jam empat sore aku dijadwalkan bertemu gadis yang telah kupelajari identitasnya melalui berlembar-lembar biodata yang kuperoleh seminggu lalu dari mas comblangku. Biodata tebal itu berisi identitas dia dan keluarganya secara umum tapi cukup lengkap disertai dua lembar foto, sementara aku hanya mengajukan selembar kertas berisi biodata singkat dan padat yang juga kusertai dua lembar foto. Ta’aruf yang dijadwalkan jam empat sore ternyata harus mundur sampai jam lima lebih karena pesertanya terlambat. Ya, hari itu aku memang capek sekali setelah seharian keliling kampung bersama teman-teman melakukan survey interaktif terkait pilkada Tangerang. Ketika terjaga dari tidurku aku kaget dan segera menyambar handuk berlari ke kamar mandi. Usai sholat Ashar aku melesat menuju tempat yang dijanjikan. Perasaanku kalut, merasa bersalah pada mas comblangku yang telah menunggu di persimpangan jalan lebih dari setengah jam, apalagi di ponselku tercatat sekitar delapan panggilan tak terjawab dari nomornya. Tanpa banyak kata aku dibawa lari dengan motornya menuju rumah comblang si gadis. Di sana, setelah basa-basi mengungkapkan alasan keterlambata pada si empunya rumah kamipun melangkah masuk menempati karpet yang baru dibentangkannya.

Aku duduk mengatur nafas dan menata hatiku yg berdebar tak karuan. Suasana kian tegang ketika dari ruang tengah muncul dua sosok wanita berkerudung. Aku menunduk menyembunyikan gugup hati yang pasti tergambar jelas di wajahku. Forum dimulai dengan pengantar, maksud, tujuan dan penjelasan singkat tentang ta’aruf. Setelah itu giliranku untuk memuntahkan segala pertanyaan pada gadis berjilbab biru itu. Beberapa saat aku mengaduk-aduk isi tas kecilku mencari lembaran kecil berisi daftar pertanyaan yang telah kusiapkan. Ternyata kertas itu tak ada, mungkin karena terburu-buru hingga tertinggal di kamar kosku, mungkin tertinggal di saku celana atau justeru dibawah bantal aku tak tahu. Ahirnya akupun coba mengingat daftar pertanyaan itu dan kulontarkan padanya satu per satu. Kukonfirmasi isi biodata yang telah kubaca dan mengexplore hal-hal lain yang kuanggap perlu hingga aku bingung karena sepertinya tak ada lagi yang mau kutanyakan. Aku tak berani menatap wajahnya, malu, gugup dan tentu saja jaim. Sesekali kulirik wajahnya yang juga tertunduk ketika bertutur menjawab pertanyaanku. Giliran dia yang bertanya tentang diriku dan tentu saja kujawab dengan lancar, jujur dan apa adanya. Tentang diri masing-masing,orang tua, saudara kandung, keluarga besar, alasan dan tujuan menikah, komitmen jika kami menikah, penghasilan, riwayat kesehatan dan lainnya. Setelah kurasa cukup forum kukembalikan pada mas comblangku serta bapak empunya rumah. “Bagaimana, dilanjutkan?” aku mengiyakan begitu pula dengan gadis berkacamata itu. Kamipun menyepakati untuk berta’aruf pada keluarganya tiga hari kemudian.

Hari-hari selanjutnya adalah kegundahan menunggu saat bertemu orang tua gadis itu. Aku mengkonfirmasi pada comblangku tentang rencana kunjungan itu, tapi beliau rupanya menunggu kabar dari comblang si gadis. Hatiku resah karena hingga hari yang disepakati tiba masih belum ada kejelasan tentang kunjungan itu, bahkan hingga matahari tenggelam di hari itu aku hanya bisa menelan kekecewaan karena rencana kunjungan itu tak terlaksana. Selepas maghrib baru kuterima kabar bahwa ponsel comblang wanita mati, beliau berpikir kami seharusnya berangkat sendiri karena alamat dan nomor telepon telah tertulis di biodata yang kini ada di tanganku. Ahirnya aku diminta menelpon orang tua gadis itu untuk meminta maaf sekaligus menjelaskan untuk berkunjung esok sepulang dari kantor. Menurut istriku ia sangat kesal dengan batalnya kunjungan itu padahal menurutnya ayahnya telah menunggu-nunggu kedatanganku untuk kemudian akan dikenalkan pada forum arisan keluarga besarnya yang dilaksanan hari itu. Bahkan ia telah memutuskan jika sampai malam tak ada konfirmasi dari pihakku ia akan minta proses ini dihentikan. “Kalau dihentikan aku cari yang lain”, kataku menggoda istriku. “Aku juga, siapa takut”, katanya dengan gaya betawinya yang lucu. Dan kamipun tertawa.

Ahirnya aku berkunjung juga pada orang tuanya. Ayahnya banyak bercakap sementara aku lebih banyak menyimak dan sesekali menjawab pertanyaannya. Malam itu aku langsung dikenalkan pada ibu, adik-adik dan om gadis itu yang menemani kami mengobrol.

Ta’aruf adalah ajang saling mengenal secara mendalam agar jika kelak menikah diharapkan tak ada lagi kekecewaan karena merasa tertipu oleh pasangannya. Inilah kemudian yang menginspirasi Om istriku untuk menjembatani pertemuan lanjutan yang lebih santai dan nyaman. Kamipun sepakat untuk berta’aruf lagi di mushola kecil di pinggiran kali Ciliwung dekat tempat tinggal sang paman. Ditemani Om, istri dan dua bocah kecil buah hati mereka kamipun melaksanakan ta’aruf lanjutan ini dengan santai dan cair sehingga tanpa canggung mengungkapkan segala unek-unek yang ada dalam kepala. Merasa cukup ahirnya kami sepakat melangkah ke jenjang pernikahan. Agenda selanjutnya adalah pengungkapan secara real di hadapan walinya bahwa aku berniat menikahi puteri pertamanya itu. Selanjutnya tanggal lamaran (khitbah)pun kami rancang hingga ahirnya menentukan saat tepat untuk akad dan walimah (pesta pernikahan).

Kini, setelah setahun berlalu dari ta’aruf itu kamipun masih menikmati suasana pengantin baru yang penuh cinta dan kemesraan. Menikah tanpa pacaran mungkin masih sedikit dilakukan di negara kita yang kian kebarat-baratan. Tapi sesungguhnya menikah tanpa pacaran memberi kami berbagai kejutan dan kemesraan dalam hari-hari membangun rumah tangga. Kini gadis berkacamata itu tak lagi sendiri, ada laki-laki yang dengan penuh cinta setia menemani ke manapun perginya serta calon buah hati kami yang telah bersemayam tujuh bulan di rahimnya.

Sayang...., ada tulisan Helvi Tiana Rosa yang bagus banget untuk kita renungkan:

“Pernikahan yang terus bertahan dan yang tidak bertahan hanya disebabkan oleh nyala cinta. Yang bertahan terus membarakannya dengan amunisi makrifah, gairah dan kesetiaan sepanjang jiwa. Sedang yang tak bertahan membiarkan nyala itu padam bersama redupnya makrifah, gairah dan kesetiaan di antara mereka.

Jika kau mencintai seseorang, kau akan menaruhnya di tempat paling nyaman di hatimu, hingga setiap kali ia menatap matamu, ia temukan dirinya berpijar di sana. Kau tak akan pernah lelah belajar mengenali diri dan jiwanya hingga ke sumsum tulang. Hidupmu penuh gairah, tak abai sekejap pun atas keberadaannya. Maka sampailah kau pada keputusan itu: kau akan setia pada tiap nafas, getar, gerak saat bersamanya, hingga nyawa berpamitan untuk selamanya pada jasadmu. Bahkan kau masih berharap semua tak akan pernah tamat. Kau mendambakan hari di mana kau dan dia kelak dibangkitkan kembali sebagai pasangan, yang terus bergandengan tangan melintasi jalan-jalan asmara, di taman surgaNya...”.

dan belahan jiwaku membalas dengan ceria: "makasih ya cinta…. luv u, mmuaccch…"

--dicopas dari MP-nya suami yang ditulis 3 tahun yg lalu--