Kamis, 21 April 2011

Ta'aruf

“Mas, ingat tidak hari ini ada apa?” suara belahan jiwaku mengawali perbincangan kami malam ini. “Hari kartini”, jawabku sekenanya. Kulihat wajahnya cemberut kemudian berubah ceria dan senyumnya mengembang mengawali obrolan seru kami. “Hari ini setahun yang lalu kita ta’aruf, sayang…. Masak Mas nggak inget?” . “O, iya hari ini ya? Setahun yang lalu?” akupun mendekatinya dan kami larut dalam nostalgia seputar pertemuan pertama kami dulu.

Ta’aruf atau perkenalan menjadi populer ahir-ahir ini setelah meledaknya film layar lebar Ayat-Ayat Cinta. Di film ini penonton yang konon mencapai lebih dari tiga juta orang disuguhi adegan ta’aruf Fahri dengan Aisha sebagai langkah awal dalam mencapai pernikahan mereka. Istilah ta’aruf kian akrab ketika baru-baru ini ketua MPR RI Hidayat Nurwahid melakukannya dengan dr Diana, calon istri yang dikenalkan padanya oleh anggota DPR RI Yoyoh Yusro. Pencarian jodoh ala Islam begitulah detik.com menulis dalam salah satu beritanya. Ta’aruf dimaksudkan untuk saling mengenal secara mendalam kedua belah pihak yang berniat untuk melangsungkan pernikahan, jika setelah ta’aruf masing-masing merasa cocok maka proses menuju pernikahan dapat dilanjutkan dengan khitbah atau lamaran tapi jika salah satu atau keduanya merasa ada ketidak cocokan maka proses dihentikan. Begitupun dengan kami setahun yang lalu, setelah ta’aruf kami merasa cocok maka proses kami lanjutkan hingga ahirnya mengantarkan kami ke pelaminan. Berbeda dengan istri yang begitu ta’aruf pertama kali langsung menuai sukses menggaet calon suami, aku sempat mengalami kegagalan dalam ta’arufku sebelumnya.

Banyak hal seru ketika kami ta’aruf dulu. Pada hari yang telah ditentukan, 21 April 2007 jam empat sore aku dijadwalkan bertemu gadis yang telah kupelajari identitasnya melalui berlembar-lembar biodata yang kuperoleh seminggu lalu dari mas comblangku. Biodata tebal itu berisi identitas dia dan keluarganya secara umum tapi cukup lengkap disertai dua lembar foto, sementara aku hanya mengajukan selembar kertas berisi biodata singkat dan padat yang juga kusertai dua lembar foto. Ta’aruf yang dijadwalkan jam empat sore ternyata harus mundur sampai jam lima lebih karena pesertanya terlambat. Ya, hari itu aku memang capek sekali setelah seharian keliling kampung bersama teman-teman melakukan survey interaktif terkait pilkada Tangerang. Ketika terjaga dari tidurku aku kaget dan segera menyambar handuk berlari ke kamar mandi. Usai sholat Ashar aku melesat menuju tempat yang dijanjikan. Perasaanku kalut, merasa bersalah pada mas comblangku yang telah menunggu di persimpangan jalan lebih dari setengah jam, apalagi di ponselku tercatat sekitar delapan panggilan tak terjawab dari nomornya. Tanpa banyak kata aku dibawa lari dengan motornya menuju rumah comblang si gadis. Di sana, setelah basa-basi mengungkapkan alasan keterlambata pada si empunya rumah kamipun melangkah masuk menempati karpet yang baru dibentangkannya.

Aku duduk mengatur nafas dan menata hatiku yg berdebar tak karuan. Suasana kian tegang ketika dari ruang tengah muncul dua sosok wanita berkerudung. Aku menunduk menyembunyikan gugup hati yang pasti tergambar jelas di wajahku. Forum dimulai dengan pengantar, maksud, tujuan dan penjelasan singkat tentang ta’aruf. Setelah itu giliranku untuk memuntahkan segala pertanyaan pada gadis berjilbab biru itu. Beberapa saat aku mengaduk-aduk isi tas kecilku mencari lembaran kecil berisi daftar pertanyaan yang telah kusiapkan. Ternyata kertas itu tak ada, mungkin karena terburu-buru hingga tertinggal di kamar kosku, mungkin tertinggal di saku celana atau justeru dibawah bantal aku tak tahu. Ahirnya akupun coba mengingat daftar pertanyaan itu dan kulontarkan padanya satu per satu. Kukonfirmasi isi biodata yang telah kubaca dan mengexplore hal-hal lain yang kuanggap perlu hingga aku bingung karena sepertinya tak ada lagi yang mau kutanyakan. Aku tak berani menatap wajahnya, malu, gugup dan tentu saja jaim. Sesekali kulirik wajahnya yang juga tertunduk ketika bertutur menjawab pertanyaanku. Giliran dia yang bertanya tentang diriku dan tentu saja kujawab dengan lancar, jujur dan apa adanya. Tentang diri masing-masing,orang tua, saudara kandung, keluarga besar, alasan dan tujuan menikah, komitmen jika kami menikah, penghasilan, riwayat kesehatan dan lainnya. Setelah kurasa cukup forum kukembalikan pada mas comblangku serta bapak empunya rumah. “Bagaimana, dilanjutkan?” aku mengiyakan begitu pula dengan gadis berkacamata itu. Kamipun menyepakati untuk berta’aruf pada keluarganya tiga hari kemudian.

Hari-hari selanjutnya adalah kegundahan menunggu saat bertemu orang tua gadis itu. Aku mengkonfirmasi pada comblangku tentang rencana kunjungan itu, tapi beliau rupanya menunggu kabar dari comblang si gadis. Hatiku resah karena hingga hari yang disepakati tiba masih belum ada kejelasan tentang kunjungan itu, bahkan hingga matahari tenggelam di hari itu aku hanya bisa menelan kekecewaan karena rencana kunjungan itu tak terlaksana. Selepas maghrib baru kuterima kabar bahwa ponsel comblang wanita mati, beliau berpikir kami seharusnya berangkat sendiri karena alamat dan nomor telepon telah tertulis di biodata yang kini ada di tanganku. Ahirnya aku diminta menelpon orang tua gadis itu untuk meminta maaf sekaligus menjelaskan untuk berkunjung esok sepulang dari kantor. Menurut istriku ia sangat kesal dengan batalnya kunjungan itu padahal menurutnya ayahnya telah menunggu-nunggu kedatanganku untuk kemudian akan dikenalkan pada forum arisan keluarga besarnya yang dilaksanan hari itu. Bahkan ia telah memutuskan jika sampai malam tak ada konfirmasi dari pihakku ia akan minta proses ini dihentikan. “Kalau dihentikan aku cari yang lain”, kataku menggoda istriku. “Aku juga, siapa takut”, katanya dengan gaya betawinya yang lucu. Dan kamipun tertawa.

Ahirnya aku berkunjung juga pada orang tuanya. Ayahnya banyak bercakap sementara aku lebih banyak menyimak dan sesekali menjawab pertanyaannya. Malam itu aku langsung dikenalkan pada ibu, adik-adik dan om gadis itu yang menemani kami mengobrol.

Ta’aruf adalah ajang saling mengenal secara mendalam agar jika kelak menikah diharapkan tak ada lagi kekecewaan karena merasa tertipu oleh pasangannya. Inilah kemudian yang menginspirasi Om istriku untuk menjembatani pertemuan lanjutan yang lebih santai dan nyaman. Kamipun sepakat untuk berta’aruf lagi di mushola kecil di pinggiran kali Ciliwung dekat tempat tinggal sang paman. Ditemani Om, istri dan dua bocah kecil buah hati mereka kamipun melaksanakan ta’aruf lanjutan ini dengan santai dan cair sehingga tanpa canggung mengungkapkan segala unek-unek yang ada dalam kepala. Merasa cukup ahirnya kami sepakat melangkah ke jenjang pernikahan. Agenda selanjutnya adalah pengungkapan secara real di hadapan walinya bahwa aku berniat menikahi puteri pertamanya itu. Selanjutnya tanggal lamaran (khitbah)pun kami rancang hingga ahirnya menentukan saat tepat untuk akad dan walimah (pesta pernikahan).

Kini, setelah setahun berlalu dari ta’aruf itu kamipun masih menikmati suasana pengantin baru yang penuh cinta dan kemesraan. Menikah tanpa pacaran mungkin masih sedikit dilakukan di negara kita yang kian kebarat-baratan. Tapi sesungguhnya menikah tanpa pacaran memberi kami berbagai kejutan dan kemesraan dalam hari-hari membangun rumah tangga. Kini gadis berkacamata itu tak lagi sendiri, ada laki-laki yang dengan penuh cinta setia menemani ke manapun perginya serta calon buah hati kami yang telah bersemayam tujuh bulan di rahimnya.

Sayang...., ada tulisan Helvi Tiana Rosa yang bagus banget untuk kita renungkan:

“Pernikahan yang terus bertahan dan yang tidak bertahan hanya disebabkan oleh nyala cinta. Yang bertahan terus membarakannya dengan amunisi makrifah, gairah dan kesetiaan sepanjang jiwa. Sedang yang tak bertahan membiarkan nyala itu padam bersama redupnya makrifah, gairah dan kesetiaan di antara mereka.

Jika kau mencintai seseorang, kau akan menaruhnya di tempat paling nyaman di hatimu, hingga setiap kali ia menatap matamu, ia temukan dirinya berpijar di sana. Kau tak akan pernah lelah belajar mengenali diri dan jiwanya hingga ke sumsum tulang. Hidupmu penuh gairah, tak abai sekejap pun atas keberadaannya. Maka sampailah kau pada keputusan itu: kau akan setia pada tiap nafas, getar, gerak saat bersamanya, hingga nyawa berpamitan untuk selamanya pada jasadmu. Bahkan kau masih berharap semua tak akan pernah tamat. Kau mendambakan hari di mana kau dan dia kelak dibangkitkan kembali sebagai pasangan, yang terus bergandengan tangan melintasi jalan-jalan asmara, di taman surgaNya...”.

dan belahan jiwaku membalas dengan ceria: "makasih ya cinta…. luv u, mmuaccch…"

--dicopas dari MP-nya suami yang ditulis 3 tahun yg lalu--